Menjadi orang tua adalah segalanya tentang memberi yang terbaik kepada anak. Makanan terbaik, pakaian terbaik, pendidikan terbaik, pasti ingin yang segala-galanya terbaik. Tapi tentu ukuran terbaik itu relatif mengacu pada takaran penilaian orang tua, dan lingkungan sekitar. Apalagi pada anak yang baru di awal usia kehidupannya, saat ia tengah berada pada masa keemasan ketika otak dan panca indranya seperti spons yang menyerap rangsangan luar dengan pesat. Ketika dia diperkenalkan pada gaya (ritme) hidup manusia normal, beserta segala rutinitas dan peraturan yang sesuai dengan tatakrama sosial, otaknya akan meresapnya dan mengendapkannya.
Sering saya memandang wajah polos Risa, dan bertanya-tanya… “Apakah yang menurut Mama adalah hal terbaik untukmu, memang benar-benar baik untukmu ya, de?” 😕 . Pada soal apa saja? Banyak. Yang paling krusial adalah tentang hak asasinya, misalnya saja dalam beragama. Ah, dulu juga Mas Gentole pernah mempertanyakan adakah hak asasi anak dalam memilih agamanya. Saya dan suami termasuk tidak fanatik ingin mendoktrinkan kepercayaan kami kepada anak. Tapi mustahil melepaskan anak ke pergaulan masyarakat tanpa identitas agama, dia akan bingung tidak masuk ke kotak apapun. Karenanya kami sepakat untuk membekali sewajarnya tentang ketuhanan dan ritual keagamaan, sembari mencoba menumbuhkan sikap kritis. Sehingga jika nanti dia ingin mencari, tidak pakai nyasar muter-muter kaya emak-bapaknya 😆 .
Selain soal agama yang sifatnya universal, hal lain yang bisa melanggar hak asasi, tak lain tak bukan adalah perlakuan fisik terutama pada anak perempuan yang berpotensi menyiksa dengan semata-mata dilandaskan pada dalil agama dan stigma sosial *halah kepanjangan* 😆 . Singkatnya adalah pada perkara: SUNAT dan TINDIK. Dua hal yang lumrah dilakukan pada bayi perempuan yang baru lahir, dulu.. tapi sekarang?
Kembali ke 2 tahun lalu di tengah-tengah pecakapan makan siang bareng teman-teman kantor, yang mereka kebetulan adalah praktisi kesehatan, kami membahas tentang praktisi sunat perempuan dari berbagai negara. Mulai yang terekstrim sampai memotong klitoris dan menjahit labia majora, sehingga yang tersisa hanya lubangnya saja. Oh sungguh perempuan seakan-akan diperuntukan untuk produksi anak saja tanpa membiarkannya menikmati prosesnya. Sementara di Indonesia konon hanya dengan membuang tudung klitoris, yang sesungguhnya tidak jelas mudharat-nya jika dibandingkan dengan preputium (kulit pada ujung penis) pada laki-laki. Semenjak hari itu saya berketetapan hati untuk tidak menyunat jika dianugerahi anak perempuan.
Dan ketika Risa lahir, apakah semudah itu keputusan tidak menyunat diberlakukan? Ehe, saya dan suami sepakat untuk tidak menyunatnya. Tapi pertanyaan dari orang-orang luar lah yang membikin gerah. Mamah saya awalnya tidak sepakat, karena dari dulu perempuan harusnya memang disunat. Dan setelah saya jelaskan alasannya, beliau untungnya menerima. Namun terkadang sering orang lain bertanya, dan ketika saya jawab “tidak” dan bukannya “belum”, beserta penjelasan alasannya, kebanyakan respon para ibu senior itu adalah “tapi dari dulu juga anak perempuan selalu disunat“. See? Haha 😆 . Untungnya saya punya alasan pamungkas, bahwa surat edaran Depkes tahun 2010 melarang praktisi kesehatan untuk melakukan sunat pada perempuan. Dan nyatanya memang rumah sakit sekarang tidak melayani jasa sunat perempuan.
Soal tindik telinga pun nasibnya sama dengan sunat, sama-sama lumrah dilakukan tapi alasan yang mendasarinya sesungguhnya tidak penting-penting amat. Sepemahaman saya tindik telinga dilakukan untuk diferensiasi gender, pembeda bayi perempuan dari bayi laki-laki, serta untuk alasan estetika agar bayi perempuan tampak cantik dengan perhiasan menggelantung di telinga. Tindik juga dilakukan sedini mungkin supaya bayi tidak terlalu merasakan sakit dan sedari awal terbiasa dengan anting yang menggantung di telinganya sehingga tidak ditarik-tarik. Beberapa kawan yang juga baru melahirkan telah menindik bayinya di umur kurang dari seminggu malah. Dulu setelah melahirkan, saya ragu menindik Risa karena dia lahir dengan berat badan rendah (2,6 kg) dan telinganya begitu tipis. Kebayang kalau dilubangi dan digelayuti logam emas meski hanya 0.5 g, telinga rapuh itu bisa sedemikian terbebani. Awalnya saya berniat menindiknya setelah dia berusia 3 bulan, setelah mendapat vaksin Tetanus. Karena bagaimanapun juga tindik telinga merupakan tindakan melukai yang memiliki resiko infeksi dan tertular penyakit semacam hepatitis bahkan HIV jika peralatan yang digunakan tidak disterilisasi dengan baik. Setidaknya setelah dia mendapat vaksin, kekebalan tubuhnya untuk melawan infeksi sudah terbentuk.
Namun sekarang, kalau dipikir-pikir lagi, meskipun sebagai ibu yang telah mempertaruhkan nyawa mengandung dan melahirkannya, apa saya punya hak untuk melubangi telinganya (melukai bagian tubuhnya) semata-mata untuk alasan yang sederhana. Dia berhak atas tubuh seutuhnya, sebagaimana sempurnanya dia dilahirkan. Melubangi telinganya, harusnya atas seijinnya, sang pemilik tubuh. Lagipula diferensiasi gender bisa dilakukan dengan memakaikan pakaian khas perempuan, baik dari model maupun warna. Dan jika demi alasan estetika anak usia belia mana mengerti soal kecantikan, malah rasanya cuma memuaskan ego ibunya yang ingin anaknya tampil cantik.
Haha…
Jadi apakah bulan depan kami jadi melubangi telinga mungilnya? Rasanya kami akan memikirkannya lagi. Mungkin menunggu sampai Risa bisa mengutarakan keinginan telinganya mau ditindik atau tidak, karena toh dia lah yang paling berhak memutuskan atas tubuhnya sendiri.
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
~Kahlil Gibran~
-6.211544
106.845172