The Shape of Happiness

“Kebahagiaan” merupakan topik yang selalu menggelitik benak saya, menimbulkan pergulatan batin yang berujung pada ketidak mengertian akhirnya. Padahal sepertinya tampak sederhana, namun rumit karena saya tak pernah tahu wujud aslinya :lol:.

Konon katanya kebahagiaan bisa diciptakan dengan usaha, yaitu melalui pintu-pintu yang menuju ke kebahagiaan. Pintunya katanya juga ada banyak, sebutlah kekayaan, kedudukan, ketampanan/kecantikan, dan cinta. Khusus untuk cinta, banyak orang yang menempatkan cinta di balik pintu kebahagiaan itu sendiri dan bukan berperan sebagai pintunya. Apa benar? Meneketehe, cinta pun saya tak tahu itu apaan :lol:.

Buktinya apa cinta ditempatkan sebagai tujuan akhir? Mungkin terlihat pada keinginan menemukan cinta sejati, kemudian memiliki dan memenjarakannya. Kebahagiaan muncul karena telah memperoleh cinta, yang tidak akan pergi ke mana-mana dan selalu siap sedia bersama dengannya selamanya. Jika melihat fenomena tersebut, anehnya terlihat bahwa cinta yang seperti itu bukanlah “mencintai” (dalam kalimat aktif), melainkan tuntutan untuk “dicintai” (pasif). Cintanya bukanlah pada objek yang (katanya) dicintainya, tapi cinta si subjek terhadap dirinya sendiri. Demi melindungi diri dari rasa tidak nyaman, kekosongan, dan… ya itu, untuk merasa bahagia :D.

Kalo menurut Tunanganku sih, cinta adalah ilusi terbesar sejagat raya 😆 . Agaknya ilusi itu terletak pada sugesti “memiliki dan dimiliki” oleh seseorang yang mencintai dan/atau dicintai. Padahal, mungkin sebenarnya tak seorang pun memiliki apapun maupun siapapun. Lalu mengapa yang namanya cinta menimbulkan efek sehebat itu, sampai bisa mengklaim menjadi “mine only” 😮 . Sekali lagi jawabannya, meneketehe 😆 .

Okeh lah, biar cinta menjadi misteri tersendiri. Saya kini beralih pada rasa bahagia jika memiliki cinta (dalam hal ini orang yang dicintai). Eh tunggu dulu.. berarti yang tidak punya orang yang dicintai tidak bisa bahagia? 😕 Dan jika sudah punya orang yang dicintai dan juga balas mencintai kita, akankah bahagia? Nah, lho.. 😆 *garuk-garuk tembok tetangga*. Mungkin cinta memang kebahagiaan, tapi tidak semua orang bisa menjadi perataranya. Jadi kunci kebahagiaan cinta mungkin terletak pada si perantara, apakah perantara bisa mewujudkan impian saya akan cinta, mungkin begitu lebih tepatnya :-?. Karena toh cinta adalah ilusi yang dibangun oleh si subjek yang mendambakan ilusi itu terwujud sehingga dia bisa bahagia.

Dan makin memikirkannya, saya jadi mempertanyakan apa yang membuat seseorang memutuskan si perantara kebahagiaannya. Well, dalam bahasa yang lebih jelas mungkin begini “apa yang membuat kamu ingin bersama denganku” atau “mengapa kamu ingin menikah denganku?”. Eits, jangan terburu-buru mengatas namakan cinta. Jika memang benar cinta adalah ilusi, maka keputusan menikah itu amat tidak rasional karena seperti orang mabok saja yang kesadarannya di bawah kekuasaan ilusi. Ilusi, makin lama akan memudar dan terkuak jika bersentuhan dengan kenyataan. Dan kenyataan adalah ibarat batu kali di dalam arus sungai, menghancurkan tapi jika bisa berpegangan padanya dia akan menyelamatkan.

Jika ingin melibatkan sedikit rasio, penentuan si perantara kebahagiaan tentunya harus memenuhi standar dan persyaratan yang telah ditetapkan. Si perantara punya potensi untuk mewujudkan kebahagiaan itu. Tapi jika demikian, tuntutan dan harapan tak akan pernah putusnya membebani dia, kacian kan :(. Atau kalau mau lebih adil dikit, si perantara punya potensi untuk mewujudkan kebahagiaan bersama-sama si subjek. Eh, sepertinya lebih tepat disebut mewujudkan keinginan mereka yang mereka duga merupakan jalan menuju kebahagiaan. Tapi apakah benar di balik pintu itu memang terdapat si bahagia? :P.

Dan pada akhirnya, kesimpulan dari segala omong kosong muter-muter ini adalah manusia (atau lebih tepatnya saya, sebagai penulisnya) mendefinisikan dan membuat rancangan cara atau jalan menuju kebahagiaan dengan demikian ngejelimetnya. Kebahagiaan ada di balik pintu lah, pintunya itu pun adalah cinta lah, padahal saya tak tahu cinta itu apa lah 😆 . Seakan-akan kebahagiaan itu bersyarat, padahal ketika seluruh syarat telah terpenuhi apakah nantinya akan bahagia?

Teringat lirik lagunya Mbak Yuuka, yang judulnya Angel Gate:

Shiawase made tooi michi o arukidasu
Aku akan terus berjalan di jalan yang panjang ini sampai menemukan kebahagiaan

Jika kebahagiaan diibaratkan ada di balik pintu, dan kita membuat jarak sendiri kalau pintu itu jauhnya 20 kilometer misalnya. Kebayang jika jalan kaki menyusuri 20 km, belum sampai di depan pintu sudah KO duluan :P. Itu pun kalau benar di balik pintu itu memang ada si kebahagiaan, lah kalau tidak ada? Nah, merasa sia-sia saja kan :mrgreen:. Jika demikian terus-menerus, selamanya kebahagiaan itu tak bisa ditemukan. Karena makin jauh jarak yang kita tentukan, kebahagiaan itu makin sukar didapatkan.

Jadi, mungkin saya akan belajar bagaimana merubah acuan yang dalam hal ini memposisikan kebahagiaan sehingga tidak sukar dijangkau. Misal, dengan menempatkan kebahagiaan itu bukan di balik pintu yang terletak di ujung lorong panjang. Namun mungkin menempatkannya di sepanjang lorong itu, sehingga dengan berjalan kaki menyusurinya pun saya sudah merasa bahagia. Di balik pintu itu lalu apa? Kebahagiaan mungkin membuncah ketika saya sampai di depan pintu itu, tapi kemudian ketika membukanya untuk pertama kali justru ketakutan dan keragu-raguanlah yang menggetarkan genggaman jari di knop pintu. Takut akan ketidak sesuaian ekspektasi saya dengan kenyataan di balik pintu :P. Di balik pintu itu mungkin adalah lorong lain yang kemudian akan ditelusuri berbekal perasaan bahagia ketika sedang melaluinya, untuk menuju pintu lain yang di baliknya pun ada lorong selanjutnya. Terus begitu, sampai pintu terakhir. Dan apakah pintu terakhir? Mungkin kematian, bukan kematian fisik saja tapi kematian hasrat untuk melanjutkan perjalanan.

😯

Dan akhirnya, saya menyadari paragraf yang barusan saya tulis adalah ocehan cara merasakan kebahagian. Bukanlah wujud dari kebahagiaan itu sendiri, yang entah apa bentuknya…

Kemudian.. ternyata, ketika saya mulai mempertanyakan definisi dan acuan kebahagiaan saya sendiri, dan di sanalah saya kehilangannya. Jadi, mungkin orang tidak akan merasa tidak bahagia jika dia tidak terus bertanya pada dirinya sendiri “apakah aku bahagia?” 🙄